Di beberapa daerah, warga menolak pemakaman korban positif Covid-19 di wilayah mereka. Alasannya, warga khawatir tertular virus mematikan itu. Namun penolakan itu dianggap berlebihan. Di Ungaran, Jawa Tengah, polisi menindak tiga orang yang diduga memprovokasi warga untuk menolak pemakaman pasien Covid-19 yang meninggal dunia di rumah sakit.
Dikutip dari Antara, ketiga orang tersangka memprovokasi puluhan warga sehingga warga menghalang-halangi petugas di jalan masuk taman pemakaman. “Sudah kami amankan tiga orang yang diduga memprovokasi warga untuk menolak pemakaman jenazah tersebut,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah, Kombes (Pol) Budi Haryanto di Semarang, Sabtu (11/4).
Menghalang-halangi petugas yang akan melakukan pemakaman resmi secara hukum memang dapat dipidana. Aparat penegak hukum dapat menggunakan Pasal 178 KUHP. Daddy Fahmanadie, dosen hukum pidana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin menegaskan bahwa dari segi ancaman hukumannya mungkin pasal ini terbilang ringan. Meskipun demikian legalitas pasal ini adalah delik biasa, bukan delik aduan. Aparat penegak hukum dapat langsung melakukan tindakan tanpa ada yang mengadu.
“Jika kejadiannya memenuhi unsur-unsur yang ada dalam Pasal 178 KUHP, maka pelaku bisa saja dijerat. Tetapi, tetapi harus melihat pada niat dan perbuatan sebagai syarat untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang,” jelas akademisi yang biasa disapa Dedy itu.
Pasal 178 KUHP menyatakan: “Barang siapa yang dengan sengaja merintangi atau menghalang-halangi jalan masuk atau pengangkutan mayat ke kuburan yang diizinkan. diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah”. Pasal ini berada di bawah bab mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum. Rumusan ini ada padanannya dalam Nederland Wetboek van Strafrecht, yakni Pasal 148.
Ancaman pidana ini ditujukan (normaddressat) kepada ‘barang siapa’, atau ‘siapapun’. Bagian inti deliknya adalah ‘sengaja’, ‘merintangi atau menghalang-halangi’, dan ‘jalan masuk atau pengangkutan mayat ke kuburan yang diizinkan’.
Dalam buku KUHP, R. Soesilo (1994: 149-150), mencatat perbuatan ini harus dilakukan dengan sengaja ‘merintangi’, artinya menghalang-halangi, sehingga pembawaan mayat itu tidak dapat berlangsung (verhideren). ‘Menyusahkan’ artinya mengganggu, sehingga meskipun pembawaan mayat itu dapat berlangsung, akan tetapi dengan susah payah (belemmeren). Selain itu dijelaskan Soesilo, pembawaan mayat itu harus tidak terlarang. Artinya pembawaan itu patut, diizinkan oleh aparat pemerintah. Bukan penguburan mayat secara gelap.
Apakah harus utuh? Menurut Soesilo, mayat dalam pasal ini adalah badan orang yang sudah mati baik yang masih utuh maupun tinggal sebagian asalkan bagian itu adalah bagian terbesar tubuh. Kalau tinggal dua jari atau hanya kepala saja, menurut Soesilo, tak lagi merupakan mayat. Anak yang sudah mati dalam kandungan dapat disebut mayat, tetapi kandungan yang belum berwujud bayi (onvoldragen vrucht) tidak masuk dalam sebutan mayat.
Dalam modul ‘Delik Tertentu dalam KUHP’ yang dipergunakan pada Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa 2019 Badan Diklat Kejaksaan 2019, pasal ini juga disinggung. Unsur kesalahan berbentuk ‘dengan sengaja’ yang ditempatkan di awal perumusan Pasal 178 KUHP bermakna bahwa anasir ini mempengaruhi anasir-anasir berikutnya. Unsur melawan hukum dari tindakan terlarang harus dikaitkan dengan status pemakaman, misalnya apakah Tempat Pemakaman Umum (TPU), Taman Makam Pahlawan (TMP) atau pemakaman keluarga. Mengusung jenazah ke lokasi pemakaman sesuai dengan protap atau sesuai dengan peraturan yang dibuat penguasa bukanlah perbuatan melawan hukum. Tindakan melawan hukumnya adalah merintangi atau menghalangi jalan masuk (yang diizinkan) ke suatu tempat pemakaman, dan merintangi atau menghalangi pengusungan jenazah (yang diizinkan) ke suatu tempat pemakaman. Pasal ini sudah dapat diterapkan tanpa harus semua pengusung atau pengantar jenazah dirintangi. Hanya beberapa orang saja dirintangi, delik ini sudah dapat digunakan.
Mengenai perbedaan pandangan apakah mayat yang dikubur harus utuh, buku modul Kejaksaan menuliskan bahwa tetap harus dipandang sebagai mayat sekalipun hanya tulang belulang yang ada. Misalnya, pemindahan kerangkan pahlawan dari suatu TPU ke TMP, atau pemindahan tulang belulang leluhur dari suatu lokasi ke kampung asal tokoh bersangkutan.
Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan virus Covid-19, Achmad Yurianto, meminta secara terbuka agar tidak ada lagi masyarakat yang menolak penguburan jenazah orang yang terjangkit Covid-19. Menurut dia, setiap korban Covid-19 telah ditangani sesuai protokol kesehatan dan penanganan mayat. “Pengurusan jenazah yang terpapar Covid-19 telah dilakukan sesuai dengan protokol medis yang ada dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang telah terlatih dan berwenang untuk melakukan itu, jelas Yuri dalam konperensi pers yang disiarkan lewat kanal media sosial pada Sabtu (11/4).
Fatwa MUI
Dalam penjelasannya, Yuri juga menyinggung bahwa penanganan jenazah orang yang terpapar Covid-19 sudah disesuaikan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia bagi korban yang beragama Islam.
Pada 27 Maret lalu, MUI menerbitkan Fatwa No. 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tahniz al-Jana’iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19. Fatwa ini diteken Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI, H. Hasanuddin AF dan HM Asrorun Ni’am Sholeh, dan diperkuat oleh Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaedi dan Sekretaris Jenderal , H. Anwar Abbas.
Dengan mempertimbangkan beberapa dalil yang berlaku dalam hukum Islam, MUI membuat beberapa ketentuan hukum pengurusan jenazah yang terpapar Covid-19. Misalnya, memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan orang yang berwenang serta tetap memperhatikan syarat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkan tetap dilakukan seperti biasa dengan menjaga agar yang mengubur dan menshalatkan tidak terpapar virus.
Fatwa MUI memuat pedoman memandikan jenazah yang terpapar Covid. Jenazah dimandikan tanpa dibuka pakaiannya; petugas wajib berjenis kelamin yang sama dengan jenazah; jika tidak ada yang sejenis, maka dimandikan oleh petugas yang ada dengan syarat jenazah dimandikan tetap dengan pakaian, atau ditayammumkan; petugas membersihkan najis (jika ada) sebelum memandikan. Selanjutnya, petugas mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh jenazah. Jika menurut keterangan ahli yang terpercaya jenazah tidak mungkin dimandikan, maka alternatifnya adalah tayammum. Jika dua-duanya tidak mungkin menurut ahli terpercaya, maka berlaku ketentuan darurat syar’iyah: tidak perlu dimandikan dan ditayammumkan.
Kemudian, jenazah dikafani menggunakan kain yang menutup seluruh tubuh dan dimasukkan ke dalam kantong jenazah yang aman dan tidak tembus air untuk mencegah penyebaran virus dan menjaga keselamatan petugas. Setelah pengafanan selesai, jenazah dimasukkan ke dalam peti jenazah yang tidak tembus air dan udara dengan dimiringkan ke kanan sehingga saat dikuburkan jenazah menghadap ke arah kiblat. Jika setelah dikafani masih ditemukan najis pada jenazah, maka petugas dapat mengabaikan najis tersebut.
Sumber : HukumOnline.Com